Minggu lalu sahabat saya, Novi menelpon. Dia ngajak saya nongki syantik. Biasanya minimal 2 minggu sekali kami nongki-nongki, tapi sudah hampir 2 bulan ini kami "absen" nongki-nongki. "Hen, nongki yukk." Saya saat itu sedang on duty alias kerja. "Sorry say, kalau minggu-minggu ini aku nggak bisa, aku lagi full banget nih," kata saya. "Trus kamu bisanya kapan?" tanyanya lagi. "Nanti ya, akhir bulan deh." Novi malah ngakak, "Helooo, ini baru tanggal berapa, akhir bulan masih lama," katanya lagi. Dia nggak tau kalau saat dia telpon, saya lagi ber-stres-stres ria mempartisi otak. "Nov, aku lagi stres berat, kerjaanku full, kuliahku juga iya. Tiap malam aku begadang nih, kurang tidur. Kasian banget ya hidup guweh Nov." Novi malah makin ngakak. Sadis lu Nov.
Dua hari lalu saya ketemu kakak laki-laki saya. Kami memang jarang bertemu, walaupun sama-sama tinggal di Jogja. Paling ketemu satu minggu sekali kalau sedang ke rumah ortu. "Hen, kamu kurang tidur ya, itu mata kamu cekung banget", begitu komentar kakak saya begitu melihat saya. "Iya mas, hampir tiap malam begadang," jawab saya. Saya melihat wajah saya di cermin, memang mata saya terlihat lebih cekung, dan tampak bulatan hitam di sekitar kedua mata saya, mata panda.
Sudah sekitar tiga mingguan ini badan saya terasa cepat lelah. Sampai rumah, energi saya sudah habis, tak bersisa. Kalau sudah di rumah, rasanya cuma pengen mandi, trus tidur. Tapi nggak mungkin juga kan? Kalau dulu saat masih single, pulang kerja capek, langsung tidur, oke-oke aja. Sekarang? Masa ya Juno ditinggal tidur. Masa ya nggak nemenin suami makan malam. Masa ya nggak ngobrol setelah seharian masing-masing beraktivitas,wong ketemunya juga cuma malam aja.
Saya bersyukur punya suami yang sangat-sangat mengerti saya. Tidak hanya cukup mengerti, tapi bisa dibilang, dialah orang yang paling dan sangat-sangat mengerti saya. Bukan lebay ya, tapi papi Juno bagi saya bukan hanya suami, tapi juga sahabat dan kakak. Hanya dengan dia saya bisa berbagi semua yang saya rasakan. Senang, sedih, kecewa, lelah, letih, semuanya, semua yang saya rasakan dan saya alami. Dan saya merasa beruntung memiliki dia. Thanks pi.
Saya teringat saat saya mulai kuliah lagi tahun lalu. Saat itu saya harus beradaptasi dengan ritme hidup saya yang berubah drastis. Banyak hal berubah dalam hidup saya saat itu, terutama yang berurusan dengan waktu, seperti jam tidur berkurang, tak ada lagi "me time", waktu untuk yang lain-lain juga jadi "berantakan". Bahkan sempat terlintas dalam pikiran saya saat itu, memutuskan untuk kuliah lagi adalah pilihan yang salah. Itu saat semester 1, saya kesulitan membagi waktu, fisik, emosi dan kognitif. Saya depresi. Baca: https://ceritamamijuno2.blogspot.co.id/2016/11/when-mommy-back-to-campus-part-4.html
Semester 2, saya mulai beradaptasi, saya mulai bisa membagi waktu, saya juga mulai "enjoy" dengan aktivitas, kerja, kuliah, dan keluarga. Pagi kerja, lalu kuliah, pulang kantor main sama Juno, ngobrol sama papinya, dan setelah itu lanjut mengerjakan tugas-tugas kuliah, begitu setiap hari. Ada hari-hari dimana saya "hampir gila" karena harus begadang semalaman untuk mengerjakan tugas kuliah dan dikejar deadline, urusan pekerjaan dan kuliah, dan Alhamdulilah saya bisa melaluinya, bahkan saya masih punya cukup waktu untuk keluarga dan "me time". Semester 2, I passed it without any significant problem. Baca: http://ceritamamijuno2.blogspot.co.id/2017/02/when-mommy-back-to-campus-part-6.html
Semester 3, sudah 6 minggu ini saya memulainya. Awalnya saya kira saya akan mampu melaluinya seperti semester 2 yang lalu. Ternyata saya salah. Semuanya tidak berjalan semestinya. Masalahnya masih sama, saya belum bisa berdamai dengan salah satunya. Baca: https://ceritamamijuno2.blogspot.co.id/2017/04/when-mommy-back-to-campus-part-7.html
Kalau saat semester 2, dalam seminggu ada hari-hari tertentu yang membuat saya "hampir gila", kalau sekarang, tiap hari saya "hampir gila". Lebay banget ya. Saya berusaha sebisa mungkin membagi waktu dengan baik, tapi kenyataannya saat ini semua berjalan tidak semestinya, menurut saya. Ada yang menurut saya "It shouldn't me. It takes time so much, and I can't avoid it. I have no choice. Saya sering berpikir, it's not right, it's not fair, but as I said, I have no choice. Saat ini saya sangat lelah. Saya bukan orang yang ambisius. Tapi saya kira tidak ada orang yang mau merugi di saat sudah berjuang hingga pada tahap tertentu. Saya sudah "di sini", dan tidak mungkin berhenti. Karena ini pilihan saya. Pilihan yang sudah saya ambil dan harus saya selesaikan. Pilihan untuk saya dan keluarga, because they are my TRUE supporters. Saya ingat bagaimana saya memulainya, siapa yang tetap mendukung saya untuk terus "lanjut"? Keluarga. Tanpa dukungan mereka, saya tidak akan sampai pada tahap ini.
Apakah saya masih kecewa? Tidak, itu sudah lama, saya bahkan sudah melupakannya. Saya sudah menerimanya, walaupun alasannya waktu itu menurut saya agak tidak masuk akal sih (hehe). Sejak awal saya sudah tau konsekuensinya, tapi saya tidak berpikir akan seperti ini. Saat ini saya sangat lelah. Dan saya rasa, setiap orang memiliki energi fisik, emosi dan kognitif yang ada batasnya, termasuk saya. Saya jadi teringat teori Burnout, yaitu sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental sehingga di dalam diri seorang individu berkembang konsep diri yang negatif, kurang konsentrasi serta perilaku yang negatif. Keadaan ini membuat suasana kerja menjadi tidak menyenangkan, karena juga dipengaruhi oleh ketidaksesuaian antara usaha dengan apa yang didapat dari pekerjaan, tidak selalu terkait materi, tapi bisa juga dalam bentuk dukungan atau perlakuan yang sama dari organisasi. Jangan sampai deh saya mengalami tahap selanjutnya dari burnout. Jangan sampai, cukup lelah saja.
Beberapa teman dan dosen menyarankan saya untuk mengajukan cuti. Saya tau mereka peduli. Bahkan sejak akan masuk, saya sudah diwanti-wanti oleh interviewer yang saat ini jadi dosen pembimping akademik saya, "jangan disambi, nanti kamu rugi sendiri", begitu pesan peliau kepada saya saat itu. Mungkin modal nekat saya berlebihan. Saya ingin, sangat ingin. Bukankah saya sudah paham konsekuensinya sejak awal? Boleh kuliah dengan biaya sendiri, dan tetap harus kerja seperti biasa. Saya akan sangat paham, jika itu berjalan "semestinya", bagaimana kalau tidak? Saya juga tidak mau merugi, saya tidak mau gagal, karena tidak sedikit usaha yang sudah saya keluarkan. Tidak hanya materi, tapi juga energi, waktu dan emosi. Kalau saya gagal, siapa yang rugi? Saya juga kan? Saya sudah "mencobanya" tahun lalu, dan gagal. Dan saya sudah menerimanya dengan lapang. Sekarang saya belum punya keberanian untuk mencobanya lagi. Saya akan mencobanya lagi tahun depan, siapa tau setelah ini semuanya membaik, kondusif dan supportif. Bagaimana jika tidak? Mungkin saya akan mengambil plan B. Apakah itu? Hemm, masih dalam wacana. Satu yang pasti, tetap berpikir positif, tetap berkarya, dan selalu berikan yang terbaik. Doa saya tetap sama, semoga sehat dan semangat selalu.
Dua hari lalu saya ketemu kakak laki-laki saya. Kami memang jarang bertemu, walaupun sama-sama tinggal di Jogja. Paling ketemu satu minggu sekali kalau sedang ke rumah ortu. "Hen, kamu kurang tidur ya, itu mata kamu cekung banget", begitu komentar kakak saya begitu melihat saya. "Iya mas, hampir tiap malam begadang," jawab saya. Saya melihat wajah saya di cermin, memang mata saya terlihat lebih cekung, dan tampak bulatan hitam di sekitar kedua mata saya, mata panda.
Sudah sekitar tiga mingguan ini badan saya terasa cepat lelah. Sampai rumah, energi saya sudah habis, tak bersisa. Kalau sudah di rumah, rasanya cuma pengen mandi, trus tidur. Tapi nggak mungkin juga kan? Kalau dulu saat masih single, pulang kerja capek, langsung tidur, oke-oke aja. Sekarang? Masa ya Juno ditinggal tidur. Masa ya nggak nemenin suami makan malam. Masa ya nggak ngobrol setelah seharian masing-masing beraktivitas,wong ketemunya juga cuma malam aja.
Saya bersyukur punya suami yang sangat-sangat mengerti saya. Tidak hanya cukup mengerti, tapi bisa dibilang, dialah orang yang paling dan sangat-sangat mengerti saya. Bukan lebay ya, tapi papi Juno bagi saya bukan hanya suami, tapi juga sahabat dan kakak. Hanya dengan dia saya bisa berbagi semua yang saya rasakan. Senang, sedih, kecewa, lelah, letih, semuanya, semua yang saya rasakan dan saya alami. Dan saya merasa beruntung memiliki dia. Thanks pi.
Saya teringat saat saya mulai kuliah lagi tahun lalu. Saat itu saya harus beradaptasi dengan ritme hidup saya yang berubah drastis. Banyak hal berubah dalam hidup saya saat itu, terutama yang berurusan dengan waktu, seperti jam tidur berkurang, tak ada lagi "me time", waktu untuk yang lain-lain juga jadi "berantakan". Bahkan sempat terlintas dalam pikiran saya saat itu, memutuskan untuk kuliah lagi adalah pilihan yang salah. Itu saat semester 1, saya kesulitan membagi waktu, fisik, emosi dan kognitif. Saya depresi. Baca: https://ceritamamijuno2.blogspot.co.id/2016/11/when-mommy-back-to-campus-part-4.html
Semester 2, saya mulai beradaptasi, saya mulai bisa membagi waktu, saya juga mulai "enjoy" dengan aktivitas, kerja, kuliah, dan keluarga. Pagi kerja, lalu kuliah, pulang kantor main sama Juno, ngobrol sama papinya, dan setelah itu lanjut mengerjakan tugas-tugas kuliah, begitu setiap hari. Ada hari-hari dimana saya "hampir gila" karena harus begadang semalaman untuk mengerjakan tugas kuliah dan dikejar deadline, urusan pekerjaan dan kuliah, dan Alhamdulilah saya bisa melaluinya, bahkan saya masih punya cukup waktu untuk keluarga dan "me time". Semester 2, I passed it without any significant problem. Baca: http://ceritamamijuno2.blogspot.co.id/2017/02/when-mommy-back-to-campus-part-6.html
Semester 3, sudah 6 minggu ini saya memulainya. Awalnya saya kira saya akan mampu melaluinya seperti semester 2 yang lalu. Ternyata saya salah. Semuanya tidak berjalan semestinya. Masalahnya masih sama, saya belum bisa berdamai dengan salah satunya. Baca: https://ceritamamijuno2.blogspot.co.id/2017/04/when-mommy-back-to-campus-part-7.html
Kalau saat semester 2, dalam seminggu ada hari-hari tertentu yang membuat saya "hampir gila", kalau sekarang, tiap hari saya "hampir gila". Lebay banget ya. Saya berusaha sebisa mungkin membagi waktu dengan baik, tapi kenyataannya saat ini semua berjalan tidak semestinya, menurut saya. Ada yang menurut saya "It shouldn't me. It takes time so much, and I can't avoid it. I have no choice. Saya sering berpikir, it's not right, it's not fair, but as I said, I have no choice. Saat ini saya sangat lelah. Saya bukan orang yang ambisius. Tapi saya kira tidak ada orang yang mau merugi di saat sudah berjuang hingga pada tahap tertentu. Saya sudah "di sini", dan tidak mungkin berhenti. Karena ini pilihan saya. Pilihan yang sudah saya ambil dan harus saya selesaikan. Pilihan untuk saya dan keluarga, because they are my TRUE supporters. Saya ingat bagaimana saya memulainya, siapa yang tetap mendukung saya untuk terus "lanjut"? Keluarga. Tanpa dukungan mereka, saya tidak akan sampai pada tahap ini.
Apakah saya masih kecewa? Tidak, itu sudah lama, saya bahkan sudah melupakannya. Saya sudah menerimanya, walaupun alasannya waktu itu menurut saya agak tidak masuk akal sih (hehe). Sejak awal saya sudah tau konsekuensinya, tapi saya tidak berpikir akan seperti ini. Saat ini saya sangat lelah. Dan saya rasa, setiap orang memiliki energi fisik, emosi dan kognitif yang ada batasnya, termasuk saya. Saya jadi teringat teori Burnout, yaitu sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental sehingga di dalam diri seorang individu berkembang konsep diri yang negatif, kurang konsentrasi serta perilaku yang negatif. Keadaan ini membuat suasana kerja menjadi tidak menyenangkan, karena juga dipengaruhi oleh ketidaksesuaian antara usaha dengan apa yang didapat dari pekerjaan, tidak selalu terkait materi, tapi bisa juga dalam bentuk dukungan atau perlakuan yang sama dari organisasi. Jangan sampai deh saya mengalami tahap selanjutnya dari burnout. Jangan sampai, cukup lelah saja.
Beberapa teman dan dosen menyarankan saya untuk mengajukan cuti. Saya tau mereka peduli. Bahkan sejak akan masuk, saya sudah diwanti-wanti oleh interviewer yang saat ini jadi dosen pembimping akademik saya, "jangan disambi, nanti kamu rugi sendiri", begitu pesan peliau kepada saya saat itu. Mungkin modal nekat saya berlebihan. Saya ingin, sangat ingin. Bukankah saya sudah paham konsekuensinya sejak awal? Boleh kuliah dengan biaya sendiri, dan tetap harus kerja seperti biasa. Saya akan sangat paham, jika itu berjalan "semestinya", bagaimana kalau tidak? Saya juga tidak mau merugi, saya tidak mau gagal, karena tidak sedikit usaha yang sudah saya keluarkan. Tidak hanya materi, tapi juga energi, waktu dan emosi. Kalau saya gagal, siapa yang rugi? Saya juga kan? Saya sudah "mencobanya" tahun lalu, dan gagal. Dan saya sudah menerimanya dengan lapang. Sekarang saya belum punya keberanian untuk mencobanya lagi. Saya akan mencobanya lagi tahun depan, siapa tau setelah ini semuanya membaik, kondusif dan supportif. Bagaimana jika tidak? Mungkin saya akan mengambil plan B. Apakah itu? Hemm, masih dalam wacana. Satu yang pasti, tetap berpikir positif, tetap berkarya, dan selalu berikan yang terbaik. Doa saya tetap sama, semoga sehat dan semangat selalu.
Don't stop when you're tired. Stop when you are done. Happy weekend.