expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Saturday, 8 April 2017

When Mommy Back to Campus Part #7 (Berdamai Dengan Semua)

sumber: www.earlymam.com
Banyak orang yang menganggap saya sangat enjoy dengan "aktivitas nyambi saya" (baca: studi). Katanya kuliahnya berat, katanya tugasnya banyak, katanya kerjaan juga banyak, kok tampaknya hepi-hepi saja? Kok masih bisa ketawa ketiwi? Kok masih sempet jalan-jalan? Kok masih sempet nonton? Kok masih sempet karaokean? Kok masih sempet selfie-selfie? hahaha. Dan biasanya kalau ada yang mengatakan seperti itu, saya hanya tertawa saja, tanpa berkomentar panjang lebar.

Apakah saya enjoy dengan studi saya? Rasanya ini sudah saya jawab di part #6. Ya, saat ini saya menikmatinya. Namun  ini tentu saja ini tidak muncul begitu saja, butuh proses. Di awal semester satu, bisa dibilang masa-masa terberat saya. Sering muncul perasaan menyesal dan menganggap sekolah lagi adalah suatu kesalahan. Saat itu saya stres berat. Dan itu sangat terlihat pada penampilan fisik saya. Bisa bayangin 'kan orang stres kayak apa? Pucat, kuyu, muka lelah, gitu deh pokoknya. Ditambah rasanya pengen nangis, dan emosi saja ketika semua tugas menumpuk dan banyak hal lain yang harus dipikirkan. Sempurna sekali.

Semester 1, saya beradaptasi dengan aktivitas baru yang sangat mengubah ritme hidup saya secara drastis ini. Jam tidur berkurang. Waktu untuk santai dan jalan-jalan juga berkurang. Tidak bisa hepi-hepi. Berkali-kali saya menganggap ini suatu pilihan yang salah. Menjelang ujian akhir semester 1 adalah puncak kestresan saya. Tugas akhir dan ujian yang super wow. Ditambah Juno saat itu sedang sakit, pekerjaan menumpuk, yang ada cuma pengen nangis saja rasanya.

Saya tidak pernah memasang target pada diri saya harus dapat nilai A, harus dapat IPK sekian. Ya, siapa sih yang tidak mau dapat nilai bagus? Saya juga mau. Tapi dengan kondisi sekolah adalah aktivitas "nyambi", dengan segala pontang-pantingnya, tidak mungkin 'kan saya pasang target terlalu tinggi? Ya, saya selalu tekankan pada diri saya, lakukan yang terbaik semampu kamu, tapi jangan ngoyo. Turunkan sedikit ekspektasimu, supaya kamu tidak mudah kecewa dengan apa yang kamu dapat. And it works for me. Saya bersyukur dengan apa yang saya dapat, dan justru kejutan-kejutan indah muncul. Kok bisa ya saya dapat nilai B, padahal saya sudah membayangkan bakal dapat C? Begitu contohnya.

Semester 2, mulai masuk pada kuliah konsentrasi. Kembali ke alasan saya sekolah lagi. Saya tertarik dengan SDM. Dan saya ingin mempelajari SDM lebih dalam lagi. TERLEPAS dengan bidang kerja saya, saya memang "jatuh cinta" dengan SDM. Bersyukur dengan kuliah mandiri, saya bisa memilih jurusan yang memang minat saya. Mungkin ini yang membuat saya "tampak" enjoy. Saya mempelajari apa yang menjadi minat saya, dan atas keinginan sendiri.

Pelan-pelan, saya mulai menikmati proses ini. Walaupun pontang panting dan terseok-seoknya masih tetap ada, tapi saya berusaha menikmatinya setiap prosesnya. Setiap minggu ada hari-hari tertentu di mana saya "hampir gila" karena tidak tidur semalaman nglembur tugas dengan deadline harus diemail jam sekian, paginya kerja, dan dilanjut kuliah. Bisa dibayangkan. Rasanya mungkin seperti sedang melakukan olah raga yang memacu adrenalin, menantang, hehehe.

Selain minat saya di SDM, apa yang membuat saya semangat menjalani proses (panjang) ini? Saya teringat sebelum kami mulai perkuliahan semester 1, seorang dosen yang juga pengelola prodi "menyambut" kami dengan "pesan-pesan mendalam" yang kalau menurut saya terdengar seperti "gambaran mengerikan" kuliah S3. Saat itu beliau berpesan kepada kami, calon mahasiswa, kuliah S3 itu anda harus berdamai dengan semuanya, berdamai dengan diri anda sendiri, berdamai dengan keluarga dan berdamai dengan organisasi tempat anda bekerja sekarang. Saya ingat sekali pesan ini. Beliau menambahkan, banyak mahasiswa yang gagal, karena dia tidak bisa berdamai dengan salah satunya. Serem banget sih, pikir saya waktu itu. Dan ternyata setelah mulai kuliah, memang serem beneran, hehehe.

Berdamai dengan semuanya. Saya tidak mau gagal. Saya ingin menyelesaikan proses ini. Ini berarti saya juga harus berdamai dengan semuanya. 

Saya mulai dengan diri saya sendiri. Banyak hal yang harus saya "kalahkan" untuk menjalani proses ini. Dan semuanya berurusan dengan tiga hal ini, time, energy, money. Waktu menjadi sangat berharga, jangan sampai terbuang untuk urusan nggak penting. Tapi bukan berarti jadi nggak ada waktu untuk keluarga, sekedar jalan-jalan atau ngobrol sama teman ya. Nggak segitunya juga 'kali. Seminggu ada 7 hari, kan masih ada weekend. Ya paling nggak dari jumat-minggu, harus adalah waktu untuk hepi-hepinya. Otak juga harus beristirahat, 'kan? Energi juga harus dihemat, jangan sampai kecapekan, apalagi sakit. Duhh, bisa runyam semua urusan. Jaga kesehatan yang paling penting lah pokoknya.

Well, kuliah mandiri itu selain pontang panting bagi waktu, juga berat di ongkos. Ya iyalah, wong bayar sendiri. Ya mau nggak mau harus berhemat, banyak keinginan yang harus ditunda dulu. Kalau dulu punya planning mau ini itu, travelling ke sana, ke sini....hemm, itu ditunda dulu semuanya. Tunggu 2 tahun lagi, hehehe. Trade off, ketika kita memilih satu hal, hal yang lain harus dikesampingkan. Bagaimana tidak, lha tiap 5 bulan harus bayar semesteran yang jumlahnyan woww, gimana nggak stres mikirnya? hehehe. Jujur, bagi kami (saya dan suami) ini berat bangettt. Tapi udah diniati ya udah mau gimana lagi, ya dijalani aja tho, walaupun harus megap-megap. Positifnya, jadi makin termotivasi untuk bekerja keras. Thanks for your support, honey!

Berdamai dengan keluarga. Ini sangat penting. Dua tahun lalu saya pernah ngobrol dengan seorang teman, yang menceritakan kisah 2 orang temannya yang melanjutkan studi S3, namun di tengah prosesnya mereka mengalami kegagalan dalam rumah tangganya. Sedih banget dengernya. Ya memang sih, masalahnya belum tentu karena studinya, bisa jadi karena masalah yang lain. Tapi itu bisa jadi pelajaran bagi para emak-emak yang kembali ke kampus seperti saya, ingat ya, keluarga tetap nomor 1. Tanpa dukungan keluarga, hal ini mustahil.

Yang ketiga tadi apa ya? Saya kok lupa, hehehe. Oh ya berdamai dengan organisasi tempat bekerja ya. Hemmm, saat ini saya sedang berproses :)

Tidak mudah memang bagi kita para emak yang kembali ke kampus. Harus membagi otak, waktu dan tenaga. Harus mikir keluarga, anak, pekerjaan dan studi. Bagaimana supaya bisa enjoy? Ya harus berdamai dengan semuanya. Diri sendiri, keluarga dan tentu saja organisasi. Tanpa itu semua, hal ini mustahil. Selamat berakhir pekan.


Monday, 3 April 2017

A note for a 35 years old man

Selamat pagi, sayang. 
Khusus hari ini boleh ya aku panggil kamu sayang. Emmm...btw kapan ya terakhir aku panggil kamu "sayang"? Guess it's been a long time, rasanya udah lama banget. Jaman pacaran ya kayaknyaAh sudahlah, yang jelas, khusus hari ini aku akan memanggilmu "sayang", titik.

Usia 35. Selamat, sayang. Berarti sejak jam 00.00 dini hari tadi kamu bukan lagi masuk kategori orang muda. Hari minggu kemarin adalah hari terakhir kamu menjadi orang muda. Eiitts, jangan ngeyel, sayang. Walaupun kamu ngotot masih merasa muda, tapi penelitian terbaru menyebutkan bahwa seseorang berhenti menjadi muda di usia 35 tahun. Dan kamu sekarang masuk dalam kategori usia pertengahan (middle age) atau paruh baya. OMG...paruh baya sayang. Can you imagine that? Kesannya tua banget. Hehehe.

Kalau dulu usia paruh baya dimulai ketika seseorang mencapai usia 40an, nah kalau sekarang usia paruh baya maju 5 tahun. Jangan dikira aku ngawur ya, ini serius loh, dan ada dasarnya, yaitu penelitian Professor Dominic Abrams yang membuat kategori ini berdasarkan survei kepada 40.000 orang di seluruh Eropa untuk kategori usia paruh baya. Menurut Profesor Abrams, pelabelan usia ini sangat penting untuk memperlakukan seseorang dengan lebih jelas. Oke ya, jadi fix, kamu sekarang masuk kategori middle age alias paruh baya.

Usia 35 tahun ini bisa dibilang usia yang cukup sensitif. Memang sih, angka ya cuma angka saja, namun sebenarnya angka 35 juga menjadi ukuran bagi seseorang atas banyak hal. Sayang, kali ini ijinkan aku memberimu beberapa catatan di usiamu yang sudah termasuk paruh baya ini. Sekali lagi, paruh baya, sayang, hehehe.

Usia 35 itu bukan waktunya untuk senang-senang. Sudah jelas, fase itu sudah lewat, it was so yesterday. Dan sekarang saatnya berjuang untuk mencapai tujuan hidup. Setuju 'kan sayang? You're a family man. Terima kasih, kamu selama ini sudah menunjukkannya, dan tetaplah seperti itu. Maaf sayang, kalau waktu untuk dirimu sendiri saat ini menjadi sangat berkurang, karena harus mensupport aku dan aktivitasku. Maaf ya di saat kamu pengin main futsal atau badminton dengan teman-temanmu, ada saja yang "menahanmu", aku yang harus lemburlah, tugas kuliahku yang wow dan kadang-kadang bikin aku "hampir gila", atau Juno yang rewel. Maafkan aku, sayang. But once, you need to take your time.

Usia 35, sayang, kamu harus bisa mengungkapkan perasaan dengan baik. Well, selama ini aku selalu belajar darimu. Bagaimana tetap "cool" dalam segala situasi termasuk ketika menghadapi masalah. Kamu tetap juaranya untuk urusan yang satu ini. Tapi sayang, kamu tidak cukup pintar untuk mengungkapkan perasaanmu. Entahlah, atau memang itu caranya mengatasi setiap masalah. Tapi kamu tak perlu harus selalu seperti itu. Sesekali kamu boleh marah sama aku. Tegur aku kalau aku salah. Kamu boleh cemburu. Kamu boleh mangkel. Kamu boleh apa saja. Show your feelings. Kita pasangan yang demokratis bukan? Just let me know.

Usia 35, fighter outside, peaceful inside. Tidak seperti ketika kita berusia 20an yang cenderung bergelora, meledak-ledak, emosian nggak jelas, di usia 35 kita harus lebih "adem". Kurasa untuk urusan yang satu ini memang aku yang harus banyak belajar dari kamu, dan kamu juaranya. Dalam kondisi terberat, terpahit, dan tersulit apapun yang kita hadapi, hati tetap harus damai. Jangan lelah untuk mengajariku, sayang.

Usia 35, a wise decision maker. Tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan, namun juga harus hati-hati dan tidak asal dalam mengambil keputusan. Nahhh, kayaknya untuk urusan yang satu ini kamu harus banyak belajar lagi untuk lebih detil dan wellplanned. Kamu masih sering unwellplanned, sayang. Maaf ya kalau aku selalu bawel, rempong, sering marah-marah nggak jelas. Karena kadang kamu terlalu santai, bikin aku gemes, kamu tau 'kan, aku orangnya nggak sabaran. Tapi ya ada untungnya juga aku seperti itu, biar kamu ada yang ngingetinThat's what I'm for.

Usia 35, kata orang identik dengan mapan. Well, mapan itu relatif dan subyektif, sayang. Bisa jadi bagi kita cukup, menurut orang lain tidak seberapa. Atau bisa juga menurut kita belum cukup, tapi menurut mereka cukup. Aku yakin, untuk hal yang satu ini kita sepakat. Mapan tidak selalu identik dengan jabatan, materi, investasi atau travelling sejauh mungkin. Kita sepakat, mapan itu ketika kita bisa menikmati hidup dengan apa yang kita punya, semeleh, sak madyo, dan syukur-syukur ketika kita sudah bisa memikirkan "orang lain" selain kita sendiri. Bismillah, saat ini kita sedang berproses untuk itu, sayang.

Usia 35, ayah, teman, dan teladan bagi anaknya. Dad is a superhero for every kids. Begitu juga Juno, kamu adalah idolanya, kamu segalanya bagi dia. Apapun yang kamu lakukan, itulah yang diikutinya. Kamu ingat, beberapa hari lalu Juno mengambil shaver mu dan menirukan caramu mencukur jenggot. Atau lihatlah betapa girangnya Juno saat kamu ajak jumatan di masjid. Jadi sebagai orang tua, sudah seharusnya kita berhati-hati dalam bertutur kata dan berperilaku. Dan lagi-lagi aku harus belajar banyak darimu yang super sabar menghadapi Juno. Memang, tak ada orang tua yang sempurna, but at least we can do the best for him.

Usia 35, matang menantang. Kata orang usia 35 itu usia yang sangat sexy. Kalau cowok, sebutannya "hot daddy". Sudah pasti yang "hot" dan "sexy" itu lebih menggoda daripada yang unyu-unyu kayak boyband. As for me, you're  hot. Percayalah, di mataku kamu tetaplah yang paling sexy, dan semoga begitu juga aku di matamu. You know what I meanI'm yours and you're mine. I trust you, you trust me, that's enough. 

Oke sayang, itu tadi beberapa catatan untuk kamu yang hari ini memasuki fase baru dalam hidupmu. Ingat, kamu tidak lagi muda, you're middle aged now. Perbaiki yang kurang baik, teruslah lebih baik, untuk kamu sendiri, untuk aku, untuk Juno, dan untuk kita. 

Without birthday cake, let me say, you're not just my man, you're the father of my son. You're not just my husband and my life partner, you're also the soulmate who gives my life meaning. Happy birthday.

Aku mengenal dikau
Tak cukup lama separuh usiaku
Namun begitu banyak...
pelajaran yang aku terima

Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai
Kan terwujud harmony...

Segala kebaikan...Takkan terhapus oleh kepahitan
Kulapangkan resah jiwa
Karna kupercaya...Kan berujung indah

Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai

Kan terwujud harmony... (Harmony-Padi)



 Yogyakarta, April 3rd 2017
 Love you as always, Heny