expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Friday 14 July 2017

Fakta Usia 35, Baper, Matang dan Bahagia (Flash Back)

Ada yang suka baperan kalau ditanya umur? Hayo ngaku saja, hehehe. Jujur, saya termasuk orang yang suka baper kalau ditanya umur. "Mbak, umurnya berapa?" Kalau ditanya ini, biasanya dengan malu-malu kucing saya jawab, "Saya ini sudah tua lho, angkatan tua." Tuh mulai keluar deh bapernya. Padahal pertanyaannya umurnya berapa, bukan "Mbak angkatan berapa?". Atau kalau nggak gitu, saya menjawab dengan balik bertanya. "Coba tebak umur saya berapa?" Nah loh ditanya bukannya jawab malah balik bertanya. Yah, begitulah perempuan, seringkali tindakannya absurd dan membingungkan. Tapi kalau tidak sesuai dengan keinginannya, kalau nggak mutung (ngambek), ya paling ngomel. Contohnya? Banyakkk. Misalnya, pasangan kita ngajak makan, lalu dia nanya, "Pengin makan di mana?" Kalau lagi nggak ada ide, pasti kita jawab gini, "Terserah kamu aja." Dan setelah sampai di tempat yang dipilih pasangan, begini komentar kita, "Kok di sini sih, di sini kan...bla bla bla..." Sering terjadi 'kan? Berarti beneran perempuan kalo gitu, hehehe.

Okey, kembali soal baper tadi ya. Sebenarnya ada dua pertanyaan yang bikin perempuan mendadak baper. Dua-duanya seputar angka, yaitu umur dan berat badan. Cuma angka sih sebenarnya, tapi kenapa sih sebagian besar perempuan jadi baper kalau ditanya dua hal ini? Begini, pada dasarnya perempuan tidak mau dibilang tua dan gendut, jadi jika ditanya soal umur dan berat badan, perempuan jadi lebih sensitif. Nggak semua sih, tapi saya termasuk yang iya, hehehe. 



Kata orang memasuki usia 30+ menjadi "momok" bagi sebagian perempuan. Bisa jadi hal ini dikarenakan tiga hal yang erat kaitannya dengan usia, yaitu penampilan, kesehatan dan karier. Saya teringat obrolan saya dengan seorang teman beberapa tahun lalu, "Hen, tau gak, dulu waktu muda gw tuh langsing banget loh. Apalagi jaman SMU dan kuliah, bisa dibilang gw tuh primadonanya. Pacar gw saat itu cowok paling keren di sekolah. Apalagi jaman kuliah, pacar gw banyak. Begitu cerita teman saya saat itu. Dia bercerita sambil memandangi tubuhnya di depan cermin. Saya yang saat itu sedang main ke rumahnya mendengar ceritanya sambil menemani bermain anak perempuannya yang saat itu berusia 3 tahunan. Sesekali teman saya bercerita sambil menerawang dan saya sesekali terkekeh mendengarnya. Sepertinya dia mengenang kembali kemasa lalu yang tampaknya sangat dia rindukan. Selain bercerita tentang masa lalu yang dia rindukan, teman saya ini juga sering bercerita tentang kehidupannya saat ini, dan masih saja, membandingkannya dengan kehidupan saat melajang dulu. "Hen, dulu pacar gw tuh care banget, romantis. Beda banget sama suami gw sekarang. Kalo suami gw orangnya cuek banget". Begitu ceritanya di lain hari.


Saya yakin apa yang dirasakan teman saya tadi juga dialami oleh banyak perempuan lain, termasuk saya. Kebanyakan perempuan pasti pernah merasakan hal yang sama, jenuh, lelah, dan saat semua tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, secara tidak sadar kita mulai membandingkan hidup kita sekarang dengan kehidupan kita sebelumnya, bahkan lebih buruk lagi, membandingkannya dengan kehidupan orang lain. Kok begini sih? Itu mungkin pertanyaan yang paling sering muncul. Jujur, saya juga pernah berada di titik ini, saat perubahan-perubahan terjadi dalam hidup saya setelah menikah dan melahirkan Juno. Fisik yang berubah, kehidupan berubah, everything's totally different. Kami juga pernah melalui saat-saat di mana semua tampak "salah", komunikasi tidak berjalan semestinya, dan mengutamakan ego masing-masing. Kami mengalaminya. Yah, saya rasa semua pasangan yang baru menikah pasti mengalami hal yang sama. Namun semua by process, tak dapat dipungkiri, usia mendewasakan kami
Baca: http://ceritamamijuno2.blogspot.co.id/2017/01/dear-husband-on-our-5th-wedding.html

Dan hari ini saya ingin flash back untuk mengingat kehidupan saya sebelumnya. Ingatan masa kecil yang masih tersisa dimulai saat usia saya 4 tahun, sebelum itu saya sudah tidak ingat lagi. Saat itu saya tumbuh jadi gadis kecil kesayangan Bapak. Menurut saya saat itu, Ibu lebih sayang pada 2 kakak lelaki saya. Benar kata orang, biasanya anak perempuan lebih dekat dan lebih disayang oleh ayahnya, saya dan kakak perempuan saya memang lebih disayang oleh Bapak. Ingatan saya tertuju pada seorang gadis kecil berambut ekor kuda yang suka sekali mengoleksi gelang warna-warni. Setiap kali pergi, Ibu selalu membelikan saya gelang plastik warna-warni yang cantik. Selama 2 tahun duduk di bangku TK, selama itu pula Ibu mengantar dan menunggui saya sekolah. Padahal TK saya tidak jauh dari rumah, tapi saya merasa nyaman saat melihat Ibu duduk di luar sana menunggui saya. Yang saya ingat selain itu, setiap hari Ibu memberi saya uang saku Rp 50,- dan saya selalu membaginya dengan teman sebangku saya, anak perempuan yang usianya setahun lebih tua dari saya, namanya Ari. Saya dapat Rp 25, teman saya dapat Rp 25, begitu terus selama setahun hingga teman saya itu lulus lebih dulu. Hal paling lucu dan memalukan saat TK adalah saat itu saya naksir seorang teman, sebut saya P. Saya menceritakan hal ini kepada kakak-kakak saya, dan itu adalah kesalahan terbesar karena hingga saya remaja, ini selalu jadi bahan lelucon kakak-kakak untuk menggoda saya. Ahh, saya kangen sekali masa itu.

Masuk SD, saya sudah mau ditinggal, tapi Ibu masih mengantar jemput saya hingga saya kelas 4. Hal yang paling saya ingat saat SD, saya menjadi murid kesayangan guru-guru, mungkin karena waktu itu saya selalu rangking 1. Tak banyak kenangan yang membekas saat saya SD. Seperti layaknya anak-anak lainnya, saya punya banyak teman, pulang sekolah langsung pergi main. Saat itu kami paling suka main benthik dan gobag sodor di bawah pohon asem besar yang ada di belakang rumah saya. Dulu pohon asemnya ada 2, yang satu sudah ditebang, sekarang tinggal 1. Dan sekarang setiap saya melewatinya, ingatan saya kembali ke 25 tahun silam, saat saya dan teman-teman kecil saya menghabiskan sebagian besar hari-hari kami di sana. Ahh, lagi-lagi saya kangen sekali masa itu, saat di mana masalah tersulit hanyalah PR matematika.

Seperti saat duduk di bangku SD, tak banyak kenangan yang membekas saat SMP dan SMU. Saat itu saya hanyalah murid dengan prestasi akademik yang biasa saja, nggak terlalu bagus dan nggak jelek juga. Selain secara akademik biasa aja, saya juga bukan murid yang populer. Jangankan populer, teman seangkatan saya saja banyak yang nggak tau nama saya kok. Kasihan banget ya? Saat itu penampilan saya cupu dan nggak gaul sama sekali. Jangankan buat dandan, uang saku saya saja saat itu buat jajan pas-pasan. Jadi saat SMU, ketika teman-teman seusia saya mulai memperhatikan penampilan dan mulai naksir-naksiran atau bahkan pacaran, saya mah malam minggu masih di rumah saja. Hiks hiks, menyedihkan banget deh kalau inget.

Nggak beda jauh dengan saat SMP dan SMU, saat kuliah prestasi akademik saya juga biasa saja. Impian masa kuliah yang indah kayak di sinetron FTV, tampil modis dan punya pacar, juga harus saya kubur dalam-dalam. Siapa sih yang mau pacaran sama cewek cupu, nggak bisa dandan, nggak modis, dan nggak gaul? Jangankan pacaran, ditembak cowok aja nggak pernah. Terlepas itu semua, dua hal yang saya syukuri saat kuliah adalah saya bisa melalui 3 tahun 8 bulan masa kuliah meski tanpa pacar, dan saya memiliki teman-teman yang hingga saat ini masih berhubungan baik. Dan itu sangat berarti bagi saya.

Selepas kuliah, 6 bulan saya menganggur, entah berapa ratus lamaran saya kirim dan berapa puluh kali tes saya lalui. Saya ingat, pertama kali bekerja saya menerima gaji 300 ribu/bulan, sangat kecil memang, tapi ada perasaan puas ketika bisa punya uang dari hasil kerja sendiri, setelah sekian tahun minta orang tua. Saat itulah untuk pertama kalinya saya mengenal apa itu pacaran. Saat itu saya dekat dengan seseorang yang rasanya tidak begitu penting untuk diceritakan dan juga tidak perlu diingat, hehehe. Siapa sih? Kan sudah saya bilang, nggak penting. Mantan adalah mantan, selesai, tamat, it's over alias the end.

Mengenal pria yang sekarang menjadi Papi Juno adalah tahap baru dalam hidup saya, ketika menjalin hubungan bukanlah sekedar untuk pacaran, karena saat itu usia saya tidak lagi muda. Memulai hubungan di usia 27 tahun bagi pria mungkin bukan masalah, namun bagi perempuan? Saya harus tahan mendengar petuah-petuah bijak dari keluarga dan saudara, dan pertanyaan-pertanyaan yang harus saya jawab sewaktu-waktu. Entah mengapa saya begitu yakin untuk menikah dengan pria ini. Yang jelas, dialah orang yang paling mengerti saya dan bisa menerima saya apa adanya. Tak mudah bagi kami untuk melalui prosesnya. Prosesnya panjang, dan saya rasa banyak pasangan lain yang juga mengalaminya. Kami menikah saat dia 30 tahun dan saya hampir 30 tahun, tapi saya tidak pernah menyesalinya. Menurut saya, menikah itu tidak hanya sekedar "would you" dan "I do". Menikah itu tidak hanya perlu modal materi. Materi juga penting, namun menurut saya paling penting bukanlah materinya, materi bisa dicari setelahnya, tapi kesiapan mental lah yang harus dimiliki setiap pasangan yang akan menikah. Baca: http://ceritamamijuno2.blogspot.co.id/2017/04/a-note-for-35-years-old-man.html


Menikah di usia hampir 30, bukan berarti kami siap semuanya. Banyak hal tak terduga yang baru kami temui setelah menikah. Benar kata orang, lima tahun pertama adalah masa-masa tersulit sebuah pernikahan. Kami belajar untuk saling berkompromi. Kami belajar untuk saling memahami dan menerima. Tidak semua yang saya inginkan, dia menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa yang dia inginkan, belum tentu saya menyukainya. Dan seringkali perdebatan berakhir dengan bertahan pada ego masing-masing. Beberapa teman pernah bilang begini kepada saya, "Kamu beruntung, rumah tanggamu baik-baik saja" Helooo...saya paling sebel ketika ada orang yang hobinya membandingkan hidupnya dengan orang lain atau menganggap masalah hidupnya lah yang paling sulit. Semua itu wang sinawang say, jangan pernah menilai kehidupan orang dari luarnya saja, karena kamu tidak pernah tahu proses apa yang telah mereka lalui atau bagaimana mereka berjuang mengatasi setiap permasalahannya. Begitu juga kami, 5 tahun telah banyak memberi kami pelajaran dan mendewasakan kami. Kami  pernah melalui kerikil, batu, bahkan karang, tapi usia dan proses lah yang mendewasakan kami. Everyone's struggling in their own ways. Setiap orang berjuang dengan caranya sendiri.

Usia 35 dan 5 tahun menikah. Saya merasa hidup saya sangat lengkap dengan kehadiran Juno. Tak dapat dipungkiri, menikah, punya anak, berarti kebutuhan meningkat dan masalah juga bertambah. Tapi ada hal-hal yang sulit dijelaskan, bagaimana ikatan keluarga dan ikatan ibu-anak sangat mempengaruhi hidup saya. Saya rasa setiap ibu pasti mengalaminya. Amazing bukan, bagaimana bisa wajah polos seorang anak kecil bisa menghapus lelah kita seharian? Atau bagaimana bisa kita buru-buru mematikan laptop dan berhenti bekerja ketika seorang anak kecil memohon dengan bibir mungil dan mata bulatnya, "Mami, laptopnya dimatikan, ayo bobok sama Juno." Atau bagaimana rasa kesal kita serta merta lenyap ketika malaikat kecil ini dengan bibir mungilnya mengatakan, "Mami jangan marah-marah." Ahh, rasanya tak ada yang lebih adem dan membahagiakan dari itu semua.



Usia 35 dan 5 tahun menikah. Kami makin saling mencintai, lebih dari sebelumnya. Bukan, bukan karena kehidupan yang lebih baik, tapi kami berproses, usia dan proses telah menempa kami untuk menjadi pasangan yang saling mendukung dan saling membuat pasangannya menjadi lebih baik lagi. Bukan, bukan materi atau investasi yang membuat kami merasa cukup, tapi kami berusaha sakmadyo sehingga semuanya kami rasa cukup. Saling mencintai bukan berarti selera dan keinginan kami selalu sama, saling mencintai bukan berarti kami tidak pernah berbeda pendapat, saling mencintai bukan berarti saya selalu setuju dengan apa yang dilakukannya, begitu pula sebaliknya. Itulah kami, kami berbeda dan saling melengkapi, karena itulah kami jatuh cinta. 

tetep, tanpa angka, haha

Usia 35 dan 5 tahun menikah. Jujur, saya merasa lebih bahagia dibanding sebelumnya. Bukan, bukan karena materi atau apapun itu. Tapi karena saya memiliki mereka yang selalu mendukung saya, pasangan yang paling "sempurna", yang Tuhan pilihkan untuk saya, sempurna untuk saya, mengerti saya dan bisa menerima saya dengan segala kekurangan saya. Dan saya memiliki malaikat kecil bermata bulat yang dengan segala "kekuatannya" bisa menaklukkan keegoisan saya, yang dengan segala kepolosannya membuat saya jatuh cinta, dan bahkan rela melakukan apapun untuknya. 

Usia 35 dan 5 tahun menikah, saya punya banyak mimpi dan akan terus menyalakannya. Flash back ke kehidupan saya sebelumnya, saya selalu bersyukur dengan apa yang telah saya lalui, dan saya tidak pernah menyesalinya. Saya bersyukur dengan hidup saya sekarang dan saya mengambil pelajaran untuk menjalani hidup saya esok. Bahagia bukan berarti hidup tanpa masalah, tapi bagaimana kita berproses ketika melaluinya. Saya 35, (tetap) baper, matang dan lebih bahagia.


Terima kasih support & doanya:
Bapak &Ibu
Papi & Juno 
Saudara-saudara & 
teman-teman semua

14.07.2017
Love you all, heny


**** Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah brand pakaian premium di Amerika, kaum perempuan mencapai puncak kebahagiaan pada usia 35 tahun. Satu dari tiga perempuan mengaku dengan bertambahnya usia, mereka merasa semakin nyaman dengan penampilan mereka. Bahkan tiga dari empat perempuan menganggap gaya mereka semakin membaik di usia 35. Setuju?









1 comment:

  1. Menginspirasi bangeettt ����

    ReplyDelete