expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Saturday 10 December 2016

Unity in Diversity

Akhir-akhir ini agak malas lihat news feed medsos. Menurut saya, sekarang medsos udah berubah fungsi. Kalau dulu medsos itu untuk nyari teman lama, atau menyambung silaturahmi dengan teman-teman yang udah lama banget nggak ketemu, sekarang medsos fungsinya udah beda, udah nggak kayak dulu lagi. Medsos sekarang isinya lebih banyak tentang isu sara, saling menyalahkan, merasa paling benar, menebar kebencian, dan saling hujat, yang endingnya bikin baper, saling emosi lalu saling unfriend. Hayoo ngaku, pasti ada di antara kalian yang unfriend atau delcon orang dari friendlist kan? hehehe.

Miris baca berita-berita sekarang, didominasi dengan isu sara, dan masing-masing merasa paling benar. Kadang saya geli juga sih bacanya, tapi males mau berkomentar, kuatir jadi viral, hehehe. Makin miris ketika isu sara mulai berkembang di Jogja, yang notabene selama ini dikenal sebagai kota yang cukup toleran dan adem ayem. Jujur, saya mulai risih. Risih karena isu sara mulai mengusik ketenangan kota Jogja, kota budaya dan kota pelajar yang sudah pasti ada berbagai macam unsur di dalamnya. Karena orang tua dari berbagai daerah di Indonesia mengirimkan anak-anaknya ke Jogja, dengan harapan-harapan terbaiknya, anak-anaknya bisa menuntut ilmu di universitas-universitas terbaik. Saya risih, mengapa keberagaman yang seharusnya menjadi sesuatu yang patut dibanggakan dan menjadi nilai plus, justru diusik dan menimbulkan kemarahan dan kebencian.

sumber: davewillis.org

Saya jadi teringat masa kecil saya. Waktu SD, saya bersekolah di sekolah Katolik. Saya sendiri tidak tahu persis alasan orang tua saya waktu itu menyekolahkan saya di sekolah Katolik, setau saya waktu itu sekolah tersebut merupakah salah satu sekolah terbaik di lingkungan tempat tinggal saya. Apakah saya menyesal sekolah di sana? Tentu saja tidak. Saya menghabiskan 6 tahun di sana dengan penuh keceriaan. 

Memang semua guru di sekolah tersebut beragama Katolik, dan siswanya kira-kira separo adalah muslim, seperti saya. Lalu apakah dengan bersekolah di sekolah Katolik, keimanan saya berubah? Tentu saja tidak, saya tetap seorang Muslim. Apakah teman-teman saya waktu itu hanya bermain dengan yang seagama? Tentu saja tidak. Kami bermain dengan semua teman, tanpa perlu bertanya terlebih dahulu, agamamu apa. Bahkan sahabat saya waktu itu beragama Kristen, dan hingga saat ini kami masih berteman baik, walaupun dia tidak tinggal di Jogja (Hai Kristi, miss you). Saya juga pernah duduk sebangku dengan seorang teman yang saat ini menjadi Romo, dan bahkan saat ini kami berteman di facebook (Hai Romo Bondan, apa kabar?). Apakah guru-guru saya saat itu 'pilih kasih' dengan siswa yang seagama dengan mereka? Tentu saja tidak, bahkan waktu itu saya termasuk murid kesayangan mereka.

Apakah saya menyesal pernah bersekolah di sekolah Katolik? Tentu saja tidak. Saya bangga menjadi lulusan sekolah tersebut dan bisa melanjutkan ke SMP terbaik di Jogja. Saya senang bisa bertemu dengan teman-teman yang 'berbeda', dan bahkan hingga saat ini masih berteman baik dengan mereka. Dan saya berhutang budi dengan guru-guru saya di sana. Bagaimanapun apa yang saya pelajari di sekolah tersebut, apa yang diajarkan oleh guru-gurunya berkontribusi pada kehidupan saya saat ini.

Saya merindukan saat-saat indah itu. Saat di mana kami bermain dengan semua teman tanpa ada pengkotak-kotakan. Saya merindukan saat itu, di mana kami bersahabat tanpa perlu bertanya agamamu apa. Saya merindukan saat itu, ketika perbedaan tidak pernah menjadi masalah.

Betapa indahnya jika saat ini seperti apa yang saya alami saat itu. Betapa indahnya ketika semua orang bersahabat tanpa perlu melihat latar belakangnya. Betapa indahnya ketika setiap orang saling mendukung, bukannya saling hujat dan merasa paling benar. Betapa indahnya ketika perbedaan-perbedaan itu menjadi keistimewaan, bukan sebagai ancaman.

Sayangnya itu semua tinggal cerita. Cerita yang selalu saya simpan di hati, sampai kapanpun, dan menjadi bagian dalam perjalanan hidup saya. Beda itu wajar. Beda itu indah. Beda itu istimewa. Have a nice weekend.

No comments:

Post a Comment