expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Monday 16 January 2017

Kuliner "Ndelik" Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto Nggeneng


Menu di Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto
Jogja memang surganya kuliner. Saya rasa banyak yang setuju dengan saya soal ini. Banyaknya jenis kuliner dengan cita rasa khas Jogja, dan harga yang relatif murah, membuat Jogja menjadi tempat favorit bagi para 'pemburu' kuliner. Tak heran saat ini semakin banyak warung makan yang lokasinya 'tersembunyi', namun karena unik dan rasanya lezat, tetap diburu oleh para pecinta kuliner.

Pada postingan kali ini saya akan mengulas salah satunya, kuliner unik di Jogja yang lokasinya 'tersembunyi' atau dalam Bahasa Jawa ndelik, yaitu Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto. Bagi yang asli Jogja atau pernah tinggal di Jogja pasti sudah tidak asing dengan warung makan ini, karena warung ini sangat populer dan legendaris. Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto berada di Dusun Nggeneng Panggungharjo Sewon Bantul Yogyakarta, atau tepatnya sekitar 0.5 km di sebelah selatan Kampus ISI (Institut Seni Indonesia), yang terletak di Jalan Parangtritis Km 7.

Mangut Lele yang legendaris itu
Saya coba googling dengan kata kunci "Mangut Lele Mbah Marto", sudah banyak sekali ulasannya. Sebenarnya saya kurang tertarik untuk memposting tempat makan yang populer, karena pasti sudah banyak alasannya. Namun karena menurut saya warung ini unik, saya akan menulisnya di postingan saya kali ini. 

Saya pernah sekali (atau mungkin 2 kali) datang ke warung makan ini, sekitar 8 tahun lalu, saat saya masih bekerja di sebuah perusahaan swasta di daerah Jogja Selatan. Seingat saya waktu itu saya kesana dengan seorang teman kantor. Tapi saat itu kami tidak makan di sana, tapi dibungkus lalu dimakan di kantor saat makan siang. Saya ingat, warungnya ndelik atau tersembunyi, masuk ke gang-gang kecil. Walaupun lokasinya ndelik, uniknya warung tersebut sangat ramai pengunjung. 

Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto, Dusun Nggeneng Sewon Bantul
Tidak seperti warung makan lainnya, warung makan ini 'hanya' berupa rumah kampung biasa, tidak terlalu besar, dan pengunjung makan di sana seakan-akan merasa sedang makan di rumah sendiri, so homy. Uniknya lagi, pengunjung dapat memilih dan mengambil sendiri makanannya di pawon (dapur) yang merupakan tempat makanan tersebut diolah. Makanan yang dijual di warung tersebut, semuanya dimasak secara tradisional menggunakan tungku kayu, sehingga jangan kaget ya kalau masuk ke pawon, mata kita jadi terasa 'pedih' karena terkena asap dari tungku. Itu yang saya ingat, 8 tahun lalu.

Hari Minggu pagi kemarin (16/1), seperti biasa kami bertiga bersepeda santai. Sekitar jam 07.15 kami berangkat dari rumah, saat itu masih gerimis rintik-rintik. Tidak ada rencana mau kemana, hanya bersepeda saja. Seperti biasa sepanjang jalan Juno mengomentari setiap hal yang menarik menurut dia, seperti sungai dan jembatan. Dia senang sekali melihat sungai dan jembatan. Sebelum tiba di Kasongan, hujan sempat agak deras dan kami berteduh sekitar 15 menit. Setelah reda kami melanjutkan bersepeda. Tiba di daerah Kasongan, saya punya ide untuk ke Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto. Saya pikir, kalau dari Kasongan 'kan tidak begitu jauh. Papi Juno setuju. 

Dari perempatan Kasongan, kami ke timur melewati jalan perkampungan yang tidak begitu besar dan tidak ramai. Tiba di jembatan Kali Putih, kami belok kiri menuju kampus ISI. Karena santai, sekitar jam 09.00 kami tiba di depan Kampus ISI.  Tujuannya adalah ke Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto. Saya lupa-lupa ingat jalannya, tapi saya ingat warung tersebut berada di sebelah selatan Kampus ISI, dan masuk melalui sebuah gang kecil.

Masuk gang kecil, ndelik
Supaya tidak salah jalan, kami bertanya pada seorang bapak yang sedang berdiri di pinggir jalan. Gang yang dimaksud berada di seberang Kantor Pos Sewon, di utara Rumah Makan Numani yang terletak di Jalan Parantritis Km.7. Dari gang tersebut masuk sekitar 100 meter, ada Masjid dan makam. Tiba di dekat Masjid, saya kembali bertanya pada bapak-bapak yang berada di situ. Kata bapak tersebut, dari Masjid, belok kiri sekitar 50 meter, lalu belok kanan sekitar 50 meter, sampai di situ sudah ada petunjuknya. Sebenarnya cukup simpel ya, namun ternyata kami harus berputar 2 kali untuk menemukannya. Akhirnya sampai juga kami di Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto. Such a hidden place, alias  benar-benar ndelik.

Ini pawonnya
Jam 09.30 kami tiba di sana, masih sepi, hanya terlihat mas pedagang kerupuk sedang mengantar kerupuk di sana. "Mas, warunge sampuk bikak dereng njih?" (Mas, warungnya sudah buka belum ya), tanya saya kepada si Mas penjual kerupuk. "Nggih buka'e ngeten niki Mbak, langsung mlebet pawon mawon, liwat mriku," (Ya bukanya seperti ini Mbak, langsung masuk ke dapur saja lewat jalan itu), jawab si Mas. "Oww nggih matur nuwun", (Oww ya, terima kasih), kata saya. 

Tungku kayu untuk memasak
Saya masuk ke pawon melalui pintu di samping 'warung' tesebut. Jalan masuknya tampak becek karena habis hujan. Saya masuk, terlihat sebuah dapur yang 'khas', yang mengingatkan saya pada dapur di rumah almarhum simbah saya dulu, dapurnya seperti ini. Ada beberapa tungku kayu, dan amben atau balai-balai bambu untuk meletakkan bumbu-bumbu dan panci-panci masakan yang sudah masak. Dinding batu bata di sekelilingnya tampak menghitam terkena asap tungku. Mirip sekali dengan dapur di rumah Simbah saya dulu.

Siap untuk dicicipi, tinggal pilih mau yang mana
Begitu masuk, mata saya terasa pedih, terkena asap tungku. Terlihat seorang nenek duduk di sebuah kursi di dekat pintu dan seorang ibu berusia 40an sedang sibuk menata masakan yang sudah masak di atas amben. "Kulo nuwun, Mbah, sampun bikak dereng nggih?" (Permisi Mbah, sudah buka belum ya?), kata saya. Si Mbah menjawab,"Sampun" (sudah). Ibu yang lain menjawab, "Tunggu sebentar Mbak, saya tata dulu ya, duduk dulu di depan." Saya kembali ke halaman depan dan menunggu di sana. Tak lama datang 1 keluarga terdiri dari 4 orang, dari pakaiannya terlihat mereka baru saja dari olah raga. Kami menunggu sekitar 10 menit, kemudian dipersilahkan untuk mengambil sendiri di pawon.

Kami masuk ke pawon untuk memilih dan mengambil menu sesuai yang kami inginkan. Sebenarnya ada banyak menu yang disediakan, ada opor ayam, telur, tahu, tempe, gudeg, sayur krecek pedas, garang asem (daging ayam dan ati ampela), dan menu andalannya adalah Mangut Lele. Tujuan kami ke sini memang ingin mencicipi mangut lele yang legendaris itu. Mangut lele Mbah Marto unik, karena lelenya tidak dibakar tapi di asapi terlebih dulu sebelum dimasak dengan bumbu mangut. Hemmm, semuanya tampak menggoda.

Semuanya tampak enak
Karena memang ingin mencicipi mangut lelenya, kami mengambil nasi, gudeg daun pepaya, sayur krecek pedas, 3 mangut lele, 1 telur opor untuk Juno dan membawanya ke depan untuk dimakan di atas sebuah balai-balai bambu. Gudeg daun pepayanya terasa agak pahit menurut Papi Juno, tapi menurut saya pas. Sayur krecek pedasnya maknyus. Dan mangut lelenya mantap sekali pedasnya. Bagi kami penyuka makanan pedas, mangut lelenya nikmat banget, apalagi dimakan dengan kerupuk, komplit deh. 

Untuk minumnya kami pesan teh panas dan mengambil 2 botol frestea dingin yang berada di kotak pendingin di dekat kami. Ketika sedang menikmati makanan kami, simbah yang tadi duduk di dekat pintu pawon datang menyapa kami. Ternyata simbah ini  adalah Mbah Marto yang legendaris itu. Beliau bercerita sudah 20 tahun lebih menggeluti usaha kuliner mangut lele ini. Dan saat ini usianya adalah 94 tahun. Wowww, kami tercengang. Mbah Marto terlihat masih bugar di usianya sekarang. Amazing.

Sepiring nasi, sayur krecek pedas dan mangut lele
Sambil makan, saya ngobrol dengan Papi Juno. Kami mengamati ruangan tempat kami berada. Di dinding ruangan tersebut tampak beberapa foto. Tampak beberapa artis, pejabat dan 'orang terkenal' berfoto bersama Mbah Marto ketika mereka mengunjungi warung ini. Keren banget ya simbah satu ini.








Mbah Marto, 94 tahun
Sekitar 1 jam kami di sana. Saya beranjak ke pawon lagi untuk membayar. Saya menemui ibu yang sibuk di dapur tadi dan menyebutkan makanan saya, nasi sayur krecek, gudeg, 1 telur opor, 3 mangut lele, 5 kerupuk, 1 teh panas, 2 botol frestea dingin, totalnya 80 ribu. Jadi 1 porsi nasi, sayur dan mangut lele dihitung sekitar 20 ribuan, selebihnya minuman dan kerupuk.
Sekitar jam 10.30 kami pamit kepada Mbah Marto dan melanjutkan perjalanan pulang. Cukup jauh kami bersepeda, berangkatnya tadi terasa santai, pulangnya karena kenyang malah terasa ngos-ngosan, hehehe. Tapi capeknya sudah terbayar dengan mampir ke Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto yang legendaris, ditambah pemandangan indah dan udara segar sepanjang perjalanan.



Penasaran kan? Daripada penasaran, silahkan datang langsung ke sana, karena akan lebih nikmat jika disantap di sana, mencicipi kuliner khas Jogja di tempat yang ndelik dan unik. Gudeg Pawon dan Mangut Lele Mbah Marto, Dusun Nggeneng, Panggungharjo Sewon Bantul, atau sekitar 0.5 km selatan kampus ISI, buka dari jam 09.00 sampai sore. Salam kuliner.

2 comments:

  1. Waow kayaknya enak rasanya, kalau boleh tau bahan buat Gudeg Pawon gmna yah kak??
    Artikelnya sangat bermanfaat kak,terimakasih infonya kak

    ReplyDelete